Pelayanan
publik merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Pelayanan publik
yang baik, akan mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan kepuasan masyarakat.
Dalam ranah makro misalnya jika pelayanan dalam investasi baik maka akan
mendorong tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat menyerap tenaga
kerja dan memunculkan usaha baru bagi masyarakat. Selain itu pelayanan publik
juga merupakan cerminan dari kinerja birokrasinya. Jika pelayanan publiknya
baik, logikanya berarti sistem dalam birokrasnya juga berjalan dengan baik.
Namun, jika kualitas pealayanan publiknya rendah, maka logikanya sistem dalam
birokrasinya juga tidak berjalan maksimal.
Pelayanan publik di Indonesia diakui
atau tidak memang masih memilliki banyak permasalahan. Hatta Radjasa
mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia
yaitu tingginya angka korupsi, rendahnya pelayanan publik dan kondisi
ketersediaan infrastruktur yang tergolong masih minim
Permasalahan dalam pelayanan publik
salah satunya yaitu dalam konteks etika. Pelayanan pada birokrasi publik masih
diwarnai dengan pelayanan yang kurang ramah, berbelit-belit, kurang transparan,
dan syarat dengan praktik KKN. Berdasarkan laporan Transparency
International, Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara terkorup di
dunia. Fenomena-fenomena ini semakin menunjukkan etika pelayanan publik di
Indonesia masih rendah. Padahal, seharusnya pelayanan publik harus
mampu membuat masyarakat merasa di tolong dan terpenuhi kebutuhannya.
Fenomena-fenomena red
tape tersebut muncul sebagai konsekuensi atas diskresi yang dimiliki oleh
eksekutif. John A. Rohr (dalam Keban, 2008:166) menyatakan bahwa diskresi
administrasi merupakan starting point bagi masalah moral atau etika
dalam administrasi publik. Manajemen pelayanan publik tentunya harus
berdasarkan etika administrator yang baik, jangan sampai diintervensi dengan
kepentingan-kepentingan individu atau kelompok melainkan harus atas nama
kepentingan publik. Jadi kajian etika sangat diperlukan dalam mewujudkan
pelayanan publik yang berorientasi kesejahteraan masyarakat bukan golongan.
Definisi
Etika Pelayanan Publik
Sebelum memahami arti dari etika
pelayanan publik, tentunya harus dipahami dulu makna dari etika dan pelayanan
publik. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan
atau watak.
Solomon (dalam Kumorotomo, 2007: 7)
menjelaskan bahwa etika mencakup dua hal yaitu pertama, etika sebagai
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta
pembenarannya dan kedua, nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur
tingkah laku manusia. Pendapat Solomon menekankan bahwa etika merupakan cabang
ilmu dan nilai-nilai untuk mengatur tingkah laku manusia.
Bertens (dalam Keban, 2008:167)
menyimpulkan bahwa etika meliputi (1) nilai-nilai moral dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya, (2) kumpulan asas atau nilai moral yang dikenal dengan kode etik, (3)
ilmu tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan filsafat moral. Pada
dasarnya pendapat Solomon dan Bertens mengemukakan dua substansi yaitu dari
sudut keilmuan dan praktik. Sudut pandang keilmuan etika dipandang sebagai
cabang ilmu, sedangkan dari sisi praksis etika merupakan nilai yang dijadikan
pedoman untuk mengatur tingkah laku. Jadi, etika merupakan nilai-nilai yang
dianut untuk mengatur tingkah laku manusia dalam ruang kehidupannya.
Pelayanan
publik berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 yaitu kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Jadi, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan
masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik.
Setelah
mengetahui makna etika dan pelayanan publik, maka selanjutnya adalah memaknai
arti dari etika pelayanan publik. Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008: 168)
etika pelayanan public diartikan sebagai filsafat dan professional standart
(kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan
berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik
atau administrator publik. Definisi Denhardt tersebut menekankan etika
pelayanan publik sebagai kode etik. Selain itu, Rohman, dkk (2010: 24)
mendefinisikan bahwa etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani
publik denagan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai
hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap
baik. Definisi Rohman dkk tersebut menekankan penggunaan nilai-nilai luhr dalam
pelayanan publik. Jadi, jelas bahwa etika pelayanan publik merupakan penggunaan
nilai-nilai luhur oleh seorang administrator dalam memberikan pelayanan publik.
Etika
Pelayanan Publik Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009
Dalam mewujudkan pelayanan publik
yang berkualitas dan demi terpenuhinya hak serta kewajiban masyarakat dan
penyelenggara pelayanan publik, maka pemerintah sebagai pemegang otoritas
mengeluarkan UU No. 25 tentang Pelayanan Publik. Salah satu hal yang dibahas
dalam undang-undang ini yaitu mengenai prinsip nilai yang menjadi acuan
perilaku dalam memberikan pelayanan publik dari pemberi layanan kepada
masyarakat. Prinsip nilai dibutuhkan sebagai upaya menyesuaikan tatanan nilai
masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan nilai
ini tentunya akan mengubah standar harapan masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan perilaku dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Adapun acuan perilaku dalam UU No. 25 tahun 2009
adalah sebagai berikut :
a)
Adil
dan tidak diskriminatif
b)
Cermat
c)
Santun
dan ramah
d)
Tegas,
andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut
e)
Profesional
f)
Tidak
mempersulit
g)
Patuh
pada perintah atasan yang sah dan wajar
h)
Menjunjung
tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara
i) Tidak
membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan dengan peraturan
perundang-undangan
j)
Terbuka
dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan
k)
Tidak
menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik
l) Tidak
memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan
informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat.
m)
Tidak
menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki
n)
Sesuai
dengan kepantasan
o)
Tidak
menyimpang dari prosedur
Nilai-nilai tersebut memang sangat
baik jika diterapkan dengan sungguh-sungguh sebagai acuan perilaku dalam
memberikan pelayanan publik. Namun, dalam konteks empirisnya nilai-nilai diatas
belum menjadi budaya organisasi. Walaupun Good Governance telah masuk dalam
menjalankan mesin birokrasi, namun sejauh ini etika pelayanan publiknya belum
berubah secara signifikan. Komitmen pemimpin dan anggota untuk menciptakan
budaya organisasi yang baik adalah kunci awal untuk menciptakan etika pelayanan
publik yang luhur.
Pendekatan
dalam Etika Pelayanan Publik
Prinsip dasar dalam
etika pelayanan publik yaitu apa yang baik dan buruk bukan benar dan
salah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan
publik. Kartasasmita (dalam Rohman, dkk: 2010: 25-27) mengungkapkan dua
pendekatan dalam etika pelayanan publik yaitu :
a) Pendekatan
Teleologi
Pendekatan
teleologi dalam etika berdasarkan apa yang baik dan buruk atau apa yang
seharusnya dilakukan oleh pejabat publik. Pendekatan ini memiliki acuan utama
yaitu nilai kemanfaatan yang diperoleh. Penilaian baik dan buruk didasarkan
atas konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam kaitannya dengan
pelayanan publik pendekatan teleologis misalnya mengukur pencapaian sasaran
kebijakan publik, seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan
pendidikan.
b) Pendekatan
Deontologi
Pendekatan
ini lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan, karena
kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau
konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pendekatan ini lebih melihat moral
masing-masing individu, pelayanan publik akan beretika jika diisi oleh
orang-orang yang mau dan mampu menegakkan prinsip-prinsip moral. Mewujudkan
pendekatan ini dalam manajemen pelayanan publik tidaklah mudah. Namun, jika
sudah melembaga dalam pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi akan dapat
menjadi teladan.
Sumber
:
Undang-undang
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
http://dhiarrossifumi.blogspot.com/2012/12/etika-pelayanan-publik.html