Jumat, 21 Agustus 2015

Etika Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.
            Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
            Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang memiliki kompetensi untuk mewujudkan visi organisasi secara bersama – sama dengan sumber daya manusia yang dipimpinnya. Pimpinan yang hanya tidak menguasai permasalahkan yang dihadapi, tetapi juga memiliki semangat untuk menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat.
            Empat karakteristik kepemimpinan pribadi :
1.      Panutan (hati nurani) : Menjadi contoh yang baik.
2.      Perintis (visi) : Bersama – sama menentukan arah yang dituju.
3.      Penyelaras (disiplin) : Menyusun dana mengelola system agar tetap pada arah yang telah ditetapkan.
4.      Pemberdaya (motivator) : Memfokuskan bakat pada hasil, bukan pada metode, lalu menyingkir agar tidak menghalangi dan memberi bantuan jika diminta.

Berikut sikap – sikap yang harus dimiliki oleh setiap pimpinan :


1. Bertanggung Jawab
  


2. Mempercayai Bawahan (Tidak Mengandalkan Kemampuan Sendiri)



3.Transparan

4. Harus Adil & Bijak dalam Mengambil Keputusan dalam Arti Tidak Pilih Kasih



5. Tidak Asal Menyalahkan Anggota



6.Tidak Temperamental/Setiap Saat Marah (Mampu Menahan Emosi)
  


7.Mampu Menegur & Mengevaluasi Apabila Terjadi Penyimpangan



8. Memberi Contoh dalam Moral maupun dalam Menjalankan Aturan




9. Bersikap Jujur


10.Disiplin & Tepat Waktu


 


11. Tidak Pelit & Tidak Juga Terlalu Royal
 





12. Mampu Mengambil Keputusan dengan Cepat & Tepat





13. Mau Peduli Terhadap Permasalahan Anggota
 



14. Tetap Ramah & Santun (Tidak Bermuka Masam)
 



15. Memberi Perintah yang Jelas & dapat Dilaksanakan
 



16. Tidak Memberi Perintah pada yang Bukan Bagiannya




17. Perintah Hanya Untuk Kepentingan Tugas & Bukan Untuk Kepentingan Pribadi
  

18. Tidak Memberikan Perintah Yg Bertentangan dengan Perintah Yg Sebelumnya
 




19. Bersikap Konsisten & Konsekuen Antara Sikap & Ucapannya




 20. Terapkan Sistem Reward and Punisment


 


FGH

Jumat, 14 Agustus 2015

Etika Pelayanan Publik


           Pelayanan publik merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Pelayanan publik yang baik, akan mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan kepuasan masyarakat. Dalam ranah makro misalnya jika pelayanan dalam investasi baik maka akan mendorong tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja dan memunculkan usaha baru bagi masyarakat. Selain itu pelayanan publik juga merupakan cerminan dari kinerja birokrasinya. Jika pelayanan publiknya baik, logikanya berarti sistem dalam birokrasnya juga berjalan dengan baik. Namun, jika kualitas pealayanan publiknya rendah, maka logikanya sistem dalam birokrasinya juga tidak berjalan maksimal. 
        Pelayanan publik di Indonesia diakui atau tidak memang masih memilliki banyak permasalahan. Hatta Radjasa mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia yaitu tingginya angka korupsi, rendahnya pelayanan publik dan kondisi ketersediaan infrastruktur yang tergolong masih minim
            Permasalahan dalam pelayanan publik salah satunya yaitu dalam konteks etika. Pelayanan pada birokrasi publik masih diwarnai dengan pelayanan yang kurang ramah, berbelit-belit, kurang transparan, dan syarat dengan praktik KKN. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara terkorup di dunia. Fenomena-fenomena ini semakin menunjukkan etika pelayanan publik di Indonesia masih rendah.  Padahal, seharusnya pelayanan publik harus mampu membuat masyarakat merasa di tolong dan terpenuhi kebutuhannya.
            Fenomena-fenomena red tape tersebut muncul sebagai konsekuensi atas diskresi yang dimiliki oleh eksekutif. John A. Rohr (dalam Keban, 2008:166) menyatakan bahwa diskresi administrasi merupakan starting point bagi masalah moral atau etika dalam administrasi publik. Manajemen pelayanan publik tentunya harus berdasarkan etika administrator yang baik, jangan sampai diintervensi dengan kepentingan-kepentingan individu atau kelompok melainkan harus atas nama kepentingan publik. Jadi kajian etika sangat diperlukan dalam mewujudkan pelayanan publik yang berorientasi kesejahteraan masyarakat bukan golongan.



Definisi Etika Pelayanan Publik
            Sebelum memahami arti dari etika pelayanan publik, tentunya harus dipahami dulu makna dari etika dan pelayanan publik. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan atau watak.
            Solomon (dalam Kumorotomo, 2007: 7) menjelaskan bahwa etika mencakup dua hal yaitu pertama, etika sebagai disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan kedua, nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Pendapat Solomon menekankan bahwa etika merupakan cabang ilmu dan nilai-nilai untuk mengatur tingkah laku manusia.
            Bertens (dalam Keban, 2008:167) menyimpulkan bahwa etika meliputi (1) nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kumpulan asas atau nilai moral yang dikenal dengan kode etik, (3) ilmu tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan filsafat moral. Pada dasarnya pendapat Solomon dan Bertens mengemukakan dua substansi yaitu dari sudut keilmuan dan praktik. Sudut pandang keilmuan etika dipandang sebagai cabang ilmu, sedangkan dari sisi praksis etika merupakan nilai yang dijadikan pedoman untuk mengatur tingkah laku. Jadi, etika merupakan nilai-nilai yang dianut untuk mengatur tingkah laku manusia dalam ruang kehidupannya.
            Pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Jadi, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik.
            Setelah mengetahui makna etika dan pelayanan publik, maka selanjutnya adalah memaknai arti dari etika pelayanan publik. Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008: 168) etika pelayanan public diartikan sebagai filsafat dan professional standart (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik. Definisi Denhardt tersebut menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik. Selain itu, Rohman, dkk (2010: 24) mendefinisikan bahwa etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik denagan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Definisi Rohman dkk tersebut menekankan penggunaan nilai-nilai luhr dalam pelayanan publik. Jadi, jelas bahwa etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh seorang administrator dalam memberikan pelayanan publik.


Etika Pelayanan Publik Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009
            Dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan demi terpenuhinya hak serta kewajiban masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik, maka pemerintah sebagai pemegang otoritas mengeluarkan UU No. 25 tentang Pelayanan Publik. Salah satu hal yang dibahas dalam undang-undang ini yaitu mengenai prinsip nilai yang menjadi acuan perilaku dalam memberikan pelayanan publik dari pemberi layanan kepada masyarakat. Prinsip nilai dibutuhkan sebagai upaya menyesuaikan tatanan nilai masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan nilai ini tentunya akan mengubah standar harapan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adapun acuan perilaku dalam UU No. 25 tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a)      Adil dan tidak diskriminatif
b)      Cermat
c)      Santun dan ramah
d)     Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut
e)      Profesional
f)       Tidak mempersulit
g)      Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar
h)      Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara
i)  Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan dengan peraturan perundang-undangan
j)        Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan
k)      Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik
l)   Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat.
m)    Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki
n)      Sesuai dengan kepantasan
o)      Tidak menyimpang dari prosedur
            Nilai-nilai tersebut memang sangat baik jika diterapkan dengan sungguh-sungguh sebagai acuan perilaku dalam memberikan pelayanan publik. Namun, dalam konteks empirisnya nilai-nilai diatas belum menjadi budaya organisasi. Walaupun Good Governance telah masuk dalam menjalankan mesin birokrasi, namun sejauh ini etika pelayanan publiknya belum berubah secara signifikan. Komitmen pemimpin dan anggota untuk menciptakan budaya organisasi yang baik adalah kunci awal untuk menciptakan etika pelayanan publik yang luhur.


Pendekatan dalam Etika Pelayanan Publik
            Prinsip dasar dalam etika pelayanan publik yaitu apa yang baik dan buruk  bukan benar dan salah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan publik. Kartasasmita (dalam Rohman, dkk: 2010: 25-27) mengungkapkan dua pendekatan dalam etika pelayanan publik yaitu :
a)         Pendekatan Teleologi
Pendekatan teleologi dalam etika berdasarkan apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat publik. Pendekatan ini memiliki acuan utama yaitu nilai kemanfaatan yang diperoleh. Penilaian baik dan buruk didasarkan atas konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam kaitannya dengan pelayanan publik pendekatan teleologis misalnya mengukur pencapaian sasaran kebijakan publik, seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan.
b)         Pendekatan Deontologi
Pendekatan ini lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan, karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pendekatan ini lebih melihat moral masing-masing individu, pelayanan publik akan beretika jika diisi oleh orang-orang yang mau dan mampu menegakkan prinsip-prinsip moral. Mewujudkan pendekatan ini dalam manajemen pelayanan publik tidaklah mudah. Namun, jika sudah melembaga dalam pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi akan dapat menjadi teladan.
Sumber :
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
http://dhiarrossifumi.blogspot.com/2012/12/etika-pelayanan-publik.html

Kamis, 13 Agustus 2015

ETIKA KERJA

A.    Pengertian Etika Kerja
      Etika kerja adalah seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kinerjanya. Perusahaan dengan etika kerja yang baik akan memiliki dan mengamalkan nilai-nilai, yakni : kejujuran, keterbukaan, loyalitas kepada perusahaan, konsisten pada keputusan, dedikasi kepada stakeholder, kerja sama yang baik, disiplin, dan bertanggung jawab.

B.     Aspek – Aspek Etika Kerja
Ada 8  aspek etos kerja sebagai berikut :
1.      Kerja adalah rahmat.
2.      Kerja adalah amanah.
3.      Kerja adalah panggilan.
4.      Kerja adalah aktualisasi.
5.      Kerja adalah ibadah.
6.      Kerja adalah seni.
7.      Kerja adalah kehormatan.
8.      Kerja adalah pelayanan.

            Jika kita menyadari aspek etos kerja diatas, kita akan menghargai pekerjaan dan melaksanakannya secara bertanggung jawab, penuh keyakinan dan komitmen, teliti, tekun, integritas, serta professional. Banyak orang yang mengganggap suatu pekerjaan merupakan beban, sehingga dalam bekerja tidak dengan sepenuh hati, mudah mengeluh, dan selalu merasa tidak nyaman. Ketidakpuasan memang selalu ada dalam setiap diri manusia, tetapi sebaiknya diaplikasikan ke dalam hal yang positif. Misalnya, tidak puas melihat sikap konsumen yang merasa kecewa atas sikap pegawai. Ketidakpuasan diwujudkan dengan memperbaiki pelayanan.

C.    Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Etika Kerja
1)      Agama
Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai yang tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bertindak, dan bersikap seseorang pasti diwarnai moleh ajaran agama yang dianutnya jika ia bersungguh – sungguh dalam menjalankan kehidupan beragama. Rosmiani (1996) berpendapat bahwa etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh  rendahnya kualitas keagamaan seseorang.
2)      Budaya
Usman Pelly (dalam Rahimah, 1995) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yanmg bersangkutan. Masyarakat dengan sistem nilai budaya maju akan memilki etos kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat dengan system nilai konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah bahkan sama sekali tidak memiliki etos kerja.
3)      Sosial Politik
KH. Abdurrahman Wahid (2002) mengatakan bahwa etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan Negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan hanya mungkin timbul jika masyarakat secara keseluruhan memilki orientasi kehidupan yang teracu pada masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian (achievement)
4)      Kondisi Lingkungan/Geografis
Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untguk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
5)      Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyrakat sebagai pelaku ekonomi.
6)      Struktur Ekonomi
Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

Etika Kerja Vs Etika Profesi
            Etika profesi merupakan sesuatu bidang etika terapan. Etika profesi berkaitan dengan kewajiban etis mereka yang menduduki posisi yang disebut professional. Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para professional dalam menjalani kewajiban mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi. Sedangkan etika kerja  mengatur praktik, hak dan kewajiban bagi mereka yang disebut non-profesional.
            Para professional memiliki karakter khusus dari segi pendidikan, palatihan, dan pengetahuan yang membedakannya dengan pekerja non-profesional. Tuntutan akan standar profesionalisme dan etika terhadap professional jauh lebih tinggi dibanding non-profesional. Namun demikian perlu diingat, meskipun etika profesi dibedakan dari etika kerja, kerangka dan prinsip yang dicakup etika profesi tetap dapat diberlakukan sebagi etika kerja.
Untuk memperlancar kinerja sehari-hari, setiap karyawan haruslah menaati etika yang berlaku di kantor. Berikut hal – hal kecil yang harus dipenuhi :
1)      Pahami aturan tertulis dan tak tertulis di tempat kerja.
2)      Jaga disiplin diri.
3)      Pahami etika dalam pergaulan, etika berpakaian, etika berbicara, dan jaga sikap dalam kantor.
4)      Tetap hormat dan sopan baik kepada atasan, rekan kerja, maupun bawahan.
5)      Jaga kredibilitas.
6)      Bertutur sopan dan selalu ucapkan terima kasih.
7)      Kontrol telepon seluler.
8)      Hargai privacy orang lain.
9)      Jaga kerapian area kerja.
10)  Jangan menjadi sumber bau (bau makanan menyengat, dan bau tidak sedap lainnya)
11)  Bekerja tepat waktu.

(dimuat dalam majalah SEKAR – edisi 84/12, tgl 30 Mei-13 Juni 2012,  rubrik KARIER)
 

Astri's Journal Template by Ipietoon Cute Blog Design